![Petani tambak bandeng di Desa Pesantren Ulujami](https://daulat.co/wp-content/uploads/2020/05/IMG_20200517_162658.jpg)
Petani tambak bandeng di Desa Pesantren Ulujami
daulat.co – Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah Fendiawan Tiskiantoro menyampaikan keprihatinannya atas kesulitan pemasaran bandeng hasil panen petani tambak sejalan dengan adanya pandemi Covid -19 di Desa Pesantren, Kecamatan Ulujami, Pemalang.
Fendiawan yang menemui langsung petani tambak, Sabtu 16 Mei 2020, akan berusaha mencarikan solusi untuk serapan produksi bandeng segar asal Kabupaten Pemalang. Yakni untuk kebutuhan Aparatur Sipil Negara (ASN) dilingkungan Pemprop Jateng.
“Kita (juga) usulkan kepada Gubernur sekaligus kita usulkan kepada pelaku UMKM untuk menyerap dan hasilnya bisa disalurkan untuk PKH atau bantuan non tunai lainnya,” kata dia.
Kepala Dinas Fendiawan meminta diberikan contoh kemasan dan regulasi pengirimannya. Apalagi ikan bandeng sangat peka dan harus tetap memenuhi standar higienis.
Sebelumnya, ratusan petani tambak bandeng di Desa Pesantren Ulujami menyampaikan keluhan karena berkurangnya serapan pasar dan harga komoditas bandeng hanya mencapai Rp, 15.000/kg sampai Rp, 16.000/kg. Padahal harga jual sebelum ada pandemi Covid-19 bisa mencapai Rp 26.000/ kg.
“Kami para petani tambak bandeng terancam tidak bisa mencukupi kebutuhan pakan tambak yang kami kelola. Kami berharap pemerintah segera turun tangan untuk menyelamatkan para petani tambak dengan pemberian pinjaman modal dengan bunga ringan,” kata salah satu petani tambak, Winaryo.
Ia menyampaikan, pandemi Covid-19 secara langsung berdampak pada penghasilan petani tambak. Kata dia, dalam kondisi normal produksi ikan bandeng yang dikelonya satu tahun bisa menghasilkan panen antar 5000 ton – 8000 ton per tahun.
Hasilnya kemudian bisa dikirim ke beberapa daerah seperti Jakarta, Surabaya, Bekasi dan Semarang untuk bandeng presto. Petani tambak juga ada yang mengekspor ke pasaran internasional.
“Dengan adanya pandemi Covid -19 ini kami mengalami kesusahan untuk melakukan panen bandeng sehingga operasional menjadi membengkak, karena waktu panen bandeng menjadi lebih panjang yang tadi paling lama 6 bulan sekarang bisa mencapai 9 bulan otomatis biaya menambah,” ucapnya.
Selain itu, lanjut Winaryo, ketika panen ikan yang berukuran lebih dari 5 ons bisa ekspor. Sementara yang ukuran yang dibawah 5 ons inilah yang menjadi kendala karena susahnya serapan pasar lokal,” imbuh Winaryo.
(Sumitro)