![minyak goreng - ist](https://daulat.co/wp-content/uploads/2022/03/images-2022-03-20T174624.656.jpeg)
minyak goreng – ist
daulat.co – Tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap para terdakwa kasus dugaan korupsi izin persetujuan ekspor (PE) minyak sawit atau CPO dinilai tidak berdasar. Utamanya, terkait penghitungan yang merugikan negara.
Sejumlah pakar hukum mempertanyakan tuntutan yang beragam dari 7 hingga 12 tahun dengan uang pengganti hingga puluhan triliun rupiah.
Pakar hukum pidana, Chairul Huda menilai, tuntutan tersebut hal yang aneh. Chairul Huda menilai, majelis hakim selayaknya menolak tuntutan tersebut. Selain itu mempertimbangkan semua fakta di persidangan.
Chairul Huda menyebut, uang pengganti itu hanya diterapkan bagi orang yang memperoleh pertambahan kekayaan dari tindak pidana korupsi. Chairul Huda menyebut Jaksa melakukan tuntutan tidak berlandaskan hukum.
“Jadi bagaimana mungkin mereka dituntut Rp 10 triliun sementara tidak ada pertambahan kekayaan mereka sebesar itu,” ujar Chairul Huda, Selasa (27/12/2022).
Dalam persidangan sebelumnya, terdakwa Stanley MA dituntut membayar uang pengganti Rp 868.720.484.367,26 jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun. Adapun Pierre Togar Sitanggang dituntut membayar uang pengganti Rp 4.554.711.650.438 jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun dan 6 bulan.
Sementara Master Parulian dituntut membayar uang pengganti Rp 10.980.601.063.037 jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 6 tahun. Di persidangan, JPU meminta hakim menegaskan, jika uang pengganti tersebut tidak dibayarkan maka harta benda milik terdakwa dan korporasi akan disita.
Terkait tuntutan itu, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar juga menegaskan, tuntutan uang pengganti itu berbeda dengan ganti rugi. “Uang pengganti itu didasarkan pada pethitungan fakta yang riil, pemunculan sebuah jumlah harus didukung dengan bukti dan perhitungan yang riil, jadi tidak asal memunculkan nominal saja tanpa rasionalusasi yang jelas,” kata dia.
Sedangkan ganti rugi itu, kata Abdul Fickar, bisa bersifat subjektif. Artinya, selain kerugian riil juga bisa ditambah dengan potensi, atau ‘keuntungan yang diharapkan’ atau bunga atau kelebihan jumlah jika uang itu dikelola.
“Sehingga jumlahnya bisa sangat subjektif, yakni pokok kerugian plus bunga, nah jika jumlah tuntutan Rp 10 triliun itu ada perhitungannya, maka itu cukup beralasan, tetapi jika asal sebut jumlah saja tanpa rasionalisasinya, maka itu bs dikatakan ngawur,” kata Fickar dalam kesempatan berbeda.
Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia (UI), Prof. Haula Rosdiana juga mempertanyakan dasar tuntutan dan mengkritisi lebih jauh. Haula menyebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 pun disebutkan, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi sulit untuk dibuktikan secara akurat. Di sisi lain, hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur metode penghitungan kerugian perekonomian negara.
“Ini bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang seharusnya memenuhi prinsip hukum harus tertulis, harus ditafsirkan seperti yang dibaca, tidak multitafsir. Kalau ini belum diatur bahaya, setiap orang nanti pakai metode berbeda sesuai dengan seleranya, tidak ada kepastian dan standarisasi,” ujar Haula Rosdiana saat dihubungi.
Haula yang juga sempat memberi keterangan di persidangan sebagai saksi ahli kasus minyak goreng menyampaikan bahwa metode menggunakan input-output (I-O) tak tepat. Pasalnya, metode itu biasanya digunakan untuk perencanaan pembangunan.
“Itu berarti bukan sesuatu yang real. Kita berbicara mengenai tuntutan hukum, berarti harus fakta hukum dong, kalau fakta hukum itu bukan prediksi atau asumsi. Saya sudah sampaikan juga, kok pakai tabel I-O tahun 2016, sekarang aja 2022,” kata dia.
Disampaikan juga, pengusaha mengalami kerugian, seperti dipaksa menjual minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi (HET) di saat harga CPO melambung. “Ada yang tidak dijelaskan dalam detil oleh ahli yang digunakan JPU, yaitu pengorbanan produsen berkaitan dengan HET itu, bagaimana dia tetap menjual meskipun sebetulnya itu sudah dibawah harga keekonomisan,” ujar dia.
Hal janggal lainnya adalah terkait tak dipertimbangkannya pemenuhan minyak goreng di pasaran (DMO) dan benefit ekspor yang menjadi pemasukan negara. Sebab itu, Haula meminta agar ada kejelasan terkait hal ini dengan memberikan kepastian hukum. Jangan tiba-tiba menunjuk orang untuk menghitung kerugian negara tanpa metode yang jelas.
“Bagaimana mungkin totalnya sekian, ini kita bicara hukum ya. Saya netral aja, saya prihatin kalau sesuatu tidak jelas itu dipaksakan, pakai metode apalagi nanti, mau bagaimana sementara UU belum pernah ngatur. JPU menuntut sesuatu yang sebetulnya belum jelas dan tidak bisa dihitung. Tidak bisa dihitung. Belum ada dasar hukum untuk menentukan bagaimana dihitung dan siapa yang menghitung. Apakah betul negara hukum berlaku seperti itu, bisa nunjuk siapa aja. Harus kembali ke konstitusi kita bahwa kita ini adalah negara hukum,” ujar dia.
Diketahui, terdapat lima terdakwa dalam kasus ini. Diantaranya mantan Dirjen Daglu Kementerian Perdagangan Indra Sari Wisnu Wardhana dan tim asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei. Kemudian, General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, dan Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group Stanley MA.
(Rangga)