
Firli Bahuri
daulat.co – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga Kepala Subbagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum pada Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri, AKBP Bambang Kayun Bagus Panji Sugiharto menerima suap dan gratifikasi secara bertahap dengan total Rp 56 miliar. Dari jumlah itu, diduga sekitar 6 miliar terkait penanganan perkara pemalsuan surat perkara perebutan hak ahli waris PT Aria Citra Mulia (ACM).
Bambang diduga menerima suap Rp 6 miliar dari pihak terlapor Emilya Said (ES) dan Herwansyah (HW). Diduga suap itu terkait dengan pemalsuan surat dalam perkara perebutan hak ahli waris PT Aria Citra Mulia.
Diketahui, pasangan suami istri (Pasutri) Herwansyah (HW) dan Emilya Said (ES)merupakan buronan atau masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) kasus penggelapan dana PT Ari Citra Mulia (ACM) dan tabungan sebanyak Rp 2 triliun lebih. Dana perusahaan yang digelapkan milik almarhum H.M. Said Kapi. Diduga penggelapan waris itu salah satunya menggunakan modus pemalsuan surat.
“Bermula dari adanya pelaporan ke Bareksrim Mabes Polri terkait dugaan pemalsuan surat dalam perebutan hak ahli waris PT Aria Citra Mulia,
dengan pihak terlapor ES dan HW,” kata Ketua KPK, Firli Bahuri saat menggelar konpers di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (3/1/2023).
Atas pelaporan itu, Emilya dan Herwansyah melalui rekomendasi salah seorang kerabatnya kemudian diperkenalkan dengan Tersangka Bambang Kayun yang saat itu di mutasi sebagai Kepala Subbagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum pada Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri untuk berkonsultasi.
Kemudian, Bambang, Herwansyah dan Emilya melakukan pertemuan di sebuah hotel pada medio 2016. Saat itu, Bambang menyatakan kesiapannya untuk membantu Emilya dan Herwansyah dengan kesepakatan pemberian uang dan barang.
“Tersangka BK lalu memberikan saran diantaranya untuk mengajukan surat permohonan perlindungan hukum dan keadilan terkait adanya penyimpangan
penanganan perkara yang ditujukan pada Kepala Divisi Hukum Mabes Polri,” ucap Firli.
Lebih lanjut dikatakan Firli, Bambang ditunjuk menjadi salah satu personel untuk melakukan verifikasi hingga permintaan klarifikasi kepada Bareskrim Polri. Sekira Oktober 2016, pihak Divisi Hukum melakukan pembahasan terkait perlindungan hukum atas nama Emilya dan Herwansyah.
“Tersangka BK kemudian ditugaskan untuk menyusun kesimpulan hasil rapat yang pada pokoknya
menyatakan adanya penyimpangan penerapan hukum termasuk kesalahan dalam proses penyidikan,” ujar Firli.
Dalam perjalanan kasusnya, Emilya dan Herwansyah ditetapkan oleh Bareskrim sebagai tersangka. Atas penetapan status tersangka itu, Bambang menyarankan Emilya dan Herwansyah
mengajukan pra peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Dengan saran tersebut, Tersangka BK menerima uang sekitar Rp 5 Miliar dari ES dan HW dengan teknis pemberiannya melalui transfer bank menggunakan rekening dari orang kepercayaannya,” ungkap Firli
Selama proses pengajuan pra peradilan, Bambang diduga membocorkan isi hasil rapat Divisi Hukum untuk dijadikan bahan materi isi gugatan praperadilan. Bocoran itu, berhasil membuat hakim mengabulkan dan menetapkan status penetapan tersangka Emilya dan Herwansyah tidak sah.
“Tersangka BK, sekitar bulan Desember 2016 juga diduga menerima 1 unit mobil mewah yang model dan jenisnya ditentukan sendiri oleh Tersangka BK,” kata Firli.
Selang 5 tahun, Emilya dan Herwansyah sekira April 2021 kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh
Bareksrim Mabes Polri dalam perkara yang sama. Bambang diduga kembali menerima duit berjumlah Rp 1 miliar
dari Emilya dan Herwansyah untuk membantu pengurusan perkara tersebut sehingga keduanya tidak kooperatif selama proses penyidikan.
“Hingga akhirnya ES dan HW melarikan diri dan masuk dalam DPO Penyidik Bareskrim Mabes Polri,” tutur Firli.
Selain itu, Bambang juga diduga menerima uang secara bertahap dari beberapa pihak
yang jumlah seluruhnya sekitar Rp 50 Miliar. Diduga penerimaan uang itu gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya.
Alhasil total uang suap dan gratifikasi yang diterima Bambang sejauh ini mencapai Rp 56 miliar. Atas serangkaian dugaan penerimaan itu, Bambang dijerat oleh KPK sebagai tersangka.
Bambang Kayun dijerat dengan Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Tim penyidik KPK terus mengembangkan lebih lanjut informasi dan data terkait
dengan perkara ini,” tegas Firli.
(Rangga)