29 March 2024, 06:37

Politik Identitas dan “Insurgency”

SAAT Negara ini hendak dibentuk, para founding parent kita telah menyadari bahwa identitas keberagaman tersebut terbukti ketika peyusunan UUD 1945 dan Pancasila. Mereka menyadari bahwa persatuanlah yang akan menyatukan dan menjadikan kekuatan besar bangsa ini di masa-masa yang akan datang.

Itu sebabnya, identitas adalah hal penting untuk menunjukkan eksistensi dalam relasi sosial dalam bingkai kebhinekaan. Karena Kebhinekaan adalah kekayaan yang mesti dibanggakan bangsa ini. Spektrum kehidupan sosial menjadi lebih berwarna dan bervariasi secara kultural. Dan ini, telah menjadi habitus jauh sebelum negara ini terbentuk.

Oleh karena itu, kekayaan yang kita miliki mesti kita jaga dengan menjalin kerukunan, baik antar suku, etnis, kepercayaan dan agama. Jika hal ini tak dapat kita jaga, pada gilirannya akan menjadi sumbu pendek yang bermuara pada konflik horizontal dan kekacauan sosial. Dan ini menjadi “great disruption” dalam studi “ATHG” (ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan). Dalam analisis ATHG, kekacauan menjadi salah satu instrument yang harus kita bendung.

Politisasi Politik Identitas Berbasis Agama

Di negara demokrasi, boleh saja orang ingin menggunakan identitasnya sebagai pilihan politiknya. Namun demikian, yang harus disadari dan diantisipasi adalah terjadinya polarisasi dimasyarakat yang berdampak negatif bagi kehidupan sosial. Oleh karenanya, kini saatnya para politisi menepikan cara itu dan mengarus utamakan persatuan dan kerukunan.

Hal itu sebagai kunci untuk mempererat dari semua dimensi perbedaan kebudayaan. Tak lagi ada mayoritas dan minoritas, yang mesti ditanamkan adalah sikap saling menghormati, respek dan tenggang rasa.
    
Memang tak dapat dihindari, penggunaan politik identitas dalam situasi di tahun-tahun politik lazim terjadi di negara kita. Akan sangat berbahaya, jika politik identitas berbasis agama (minoritas dan mayoritas) mencuat dalam relasi bernegara kita. Hal ini akan menyebabkan banyak persoalan yang akan terjadi di masyarakat. Beberapa persoalan itu adalah; (a). bias politik, (b). terjadi insurgency (kekacauan), (c). pupus nya keharmonisan, (d). kecemburuan sosial, (e). polarisasi kebudayaan, (f). cost recovery yang besar.

Beberapa persoalan itu harus kita waspadai, jika penggunaan metode politisasi agama akan menghasilkan enam residu yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang sudah disampaikan di atas.

Sebagai studi kasus, fenomena Pilkada DKI yang mesti kita mengambil banyak pelajaran dan hikmah. Pasalnya, tak hanya mencatut soal agama, namun demikian identitas etnis juga ikut serta teresonansi. Munculnya terminology “kafir”, “pribumi dan non pribumi” turut serta menjadi ancaman keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berbasis pada multi agama, etnis, kepercayaan dan kebudayaan. Kita semua berharap, pola pendekatan ini di saat tahun-tahun politik tidak lagi dioperasikan dan dijalankan.

Bahaya “Ortodoksi” dan Fundamentalisme Agama

Sejatinya, agama hadir sebagai pembawa berita gembira dan kedamaian. Ia memberi pesan kelembutan dan welas asih. Akan tetapi mengapa tafsir atas pesan agama menjadi tergelincir?

Dalam kaca mata sosiologis, konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antarkelas sosial, antar golongan kaya dengan golongan miskin, atau antara kelompok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tetapi konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda.

Namun, selama berabad-abad, perbedaan entitas agama telah menimbulkan konflik yang paling keras dan paling lama, paling luas, dan paling banyak memakan korban. Dalam citranya yang negatif, agama telah memberikan kontribusi terhadap terjadinya konflik, penindasan dan kekerasan. Agama telah menjadi tirani, di mana atas nama Tuhan orang melakukan kekerasan, menindas, melakukan ketidakadilan dan pembunuhan.

Dalam konteks yang modern, bentuk-bentuk konflik, kekerasan dan perang agama itu biasanya dihubungkan dengan bangkitnya fundamentalisme agama. Fundamentalisme agama mengekspresikan cita-cita sosial-politiknya dalam bentuk ekstrimisme dan kekerasan sebagai reaksi terhadap kondisi kehidupan manusia yang dianggapnya tidak ideal.

Ekspresi fundamentalisme ini terkadang cukup mengerikan. Dari mulai mengkafirkan, dan mudah sekali memberikan justifikasi terhadap manusia dengan terminologi “kafir” yang harus mereka perangi. Jika di tahun-tahun politik yang akan datang digunakan kembali model dan cara seperti saat Pilkada DKI. Maka kita akan mengulangi “insurgency” (kekacauan), yang pada gilirannya akan membawa kita pada polarisasi , konflik horizontal hingga dis-integrasi bangsa.

Zaedi Basitturozak
Bendahara Umum PP Pemuda Muhammadiyah

Read Previous

Komisi X: Proses Edukasi Suporter Harus dari Klub Sepak Bolanya Sendiri

Read Next

Jelang KTT ASEAN, Kemenkes Diminta Percepat Pengadaan Fasilitas Kesehatan RSUD Komodo