Palu hakim – ist
daulat.co – Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung menuntut terdakwa Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra) dengan hukuman empat tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta subsidair enam bulan kurungan. Tuntutan itu diberikan lantaran Djoko Tjandra dinilai terbukti bersalah menyuap aparat penegak hukum.
“Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan,” kata Jaksa Junaidi saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat Kamis (4/3/2021).
Jaksa menyebut Djoko Tjandra menyuap aparat penegak hukum untuk memuluskan kepentingannya. Djoko Tjandra diyakini telah menyuap pejabat di Kejaksaan Agung (Kejagung) Pinangki Sirna Malasari dan petinggi Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Irjen Napoleon Bonaparte serta Brigjen Prasetijo Utomo.
Berdasarkan fakta persidangan, jaksa menyimpulkan bahwa telah terjadi suatu peristiwa pemberian uang atau janji yang dilakukan oleh terdakwa Djoko Tjandra sehubungan dengan rencana pengurusan fakta atas permasalahan hukumnya.
Jaksa juga meyakini Djoko Tjandra telah memberi uang atau janji sehubungan dengan pengurusan status buronannya di imigrasi berdasarkan status red notice.
Atas perbuatannya, Djoko dituntut terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP sebagaimana dakwaan kesatu pertama. Kemudian, Pasal 15 Jo Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Menyatakan terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi,” ujar jaksa.
Diketahui, Djoko Tjandra mengajukan permohonan “justice collaborator” atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum pada 4 Februari 2021 kepada majelis hakim perihal untuk menjadi saksi pelaku yang bekerja sama. Namun, jaksa dalam tuntutannya menolak permohonan itu.
“Menyatakan permohonan terdakwa untuk menjadi ‘justice collaborator’ tidak dapat diterima,” ucap JPU Junaedi.
Menurut Jaksa, Djoko Tjandra merupakan pelaku utama, sehingga ia dinilai tak layak mendapat status JC.
“Berdasarkan fakta-fakta persidangan terungkap bahwa terdakwa Djoko Tjandra merupakan pelaku utama yang melakukan tindak pidana korupsi sebagai pemberi suap, yakni sebagai pemberi suap sebesar 500 ribu dolar AS kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari, kepada Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 370 dolar AS serta Brigjen Prasetijo Utomo senilai 100 ribu dolar AS,” ujar jaksa.
Selain itu, Djoko Tjandra juga dinilai terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Mahkamah Aguung (MA).
“Atas alasan tersebut di atas, kami berpendapat terdakwa merupakan pelaku utama, sehingga permohonan terdakwa sebagai ‘justice collaborator’ tersebut selayaknya tidak diterima,” tutur jaksa.
Terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra), sebekumnya didakwa pernah menjanjikan uang sebesar 1 juta dolar AS atau sekira Rp 14,6 miliar kepada Pinangki Sirna Malasari selaku Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung RI.
Uang itu dijanjikan Djoko Tjandra kepada Jaksa Pinangki jika berhasil mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) lewat Kejaksaan Agung (Kejagung). Fatwa MA itu bertujuan agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi.
Namun, Djoko Tjandra baru memberikan setengah uang dari yang dijanjikan, senilai 500.000 dolar AS atau sekira Rp 7,3 miliar. Oleh karenanya, Djoko Tjandra didakwa telah menyuap Jaksa Pinangki sebesar Rp 7,3 miliar untuk mengurus fatwa MA.
Selain itu, Djoko Tjandra juga didakwa menyuap dua jenderal polisi yakni, Irjen Napoleon Bonaparte sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS, serta kepada Brigjen Prasetijo sebesar 150 ribu dolar AS. Suap itu diberikan Djoko Tjandra melalui perantara seorang pengusaha, Tommy Sumardi.
Djoko Tjandra diduga menyuap dua jenderal polisi tersebut untuk mengupayakan namanya dihapus dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Ditjen Imigrasi, dengan menerbitkan surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham RI.
(Rangga Tranggana)